2.1 Cerpen
Judul cerpen :
Peradilan Rakyat
Tahun terbit :
2003
· Biografi Pengarang
Pengarang : Putu Wijaya
Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama,
sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga
menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater
Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar
negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering
muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan
fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala
Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang
Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di
antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram,
Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit
untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya.
Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta,
selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati
botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih
gagah," tutur Putu sambil bercanda.
Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada
tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima
bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks
perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya
dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka,
seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan
Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah,
bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya,
''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan,
sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang
sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni
laku," ujarnya mengenang.
Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama
semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia
diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair
dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan dalam Badak,
karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali pada drama," kenang
Putu Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di
Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas
Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia
(ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan
kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum
(1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan
berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih
terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S.
Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968)
dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar
Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang
berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara
pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara
Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina
Teater Nasional Indonesia. Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta,
Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan
sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga
bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia
menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah
Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan
untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya
terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat
beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun,
karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan.
Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti
International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke
Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan
Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu
yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang
mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo,"
ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi
kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan
ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya
lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di
Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).Ia mempunyai pengalaman bermain
drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy,
Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel
dan berpentas di Jepang (2001).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang
teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain
berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di
samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen,
maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa
Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama.
Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya
objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam
pengungkapannya - penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam
pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang
riwayat.
Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya,
teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif
terhadap logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat,
menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.Ia menegaskan,
''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.''
Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan.
Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung
problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap
adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan
pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.
Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang
cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis
menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,''
katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti
baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi,
problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak.
''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna,
agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.''
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu
tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan
apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi.
Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara
kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak
kesurupan. Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi
sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang
disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang
disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario
yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona.
Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias
Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah
saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya.
''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan
1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika.
Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama
setahun.
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu
teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas
Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto,
Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis
Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang
anak, Taksu.Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun
diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan.
Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak
dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata
Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan
kesempatan saja."
Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach
atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron,
serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam
tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap
bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus
pekerjaan," ujar Putu.
2.1.1 Ikhtisar
Pada suatu hari ada seorang pengacara mua yang hendak
mengunjungi ayahnya yang kini menjai seorang pengacara tua. Ia menemui ayahnya
sebagai pengacara bukan sebagai putranya untuk menanyakan pendapat pengacara
tua itu mengenai keputusan yang diambil
oleh pengacara muda.
Saat pengacara muda suah bertemu dengan ayahnya, ia
segera memberitahu ayahnya bahwa ia ingin berbicara dengan ayahnya sebagai
sepasang pengacara yang profesional. Ayahnya memaklumi dan menanggapi keinginan
putranya itu.
Pengacara muda mengatakan ia telah didatangi oleh seorang
penjahat besar di negaranya dan penjahat itu ingin ia menjadi pembelanya pada
saat pengadilan nanti. Ia hanya ingin menjadi pengacara profesional, karena
pengacara pun tetap harus membela yang salah walau sebenarnya hal itu akan
merugikan dirinya sendiri.
Pengacara tua pun tahu bahwa pengacara muda itu akan
menerima tawaran dari penjahat itu untuk membelanya, karena ia tahu betul sifat
pengacara muda itu. Tetapi ia ingin tahu apakah sebab pengacara muda itu
menerima tawaran sang penjahat. Pengacara tua pun bertanya kepada pengacara
muda apakah ia menerima karena takut atau disogok engan jumlah uang yang besar.
Tetapi jawaban pengacara muda tetap tidak dan ia hanya ingin bersikap
profesional sebagai seorang pengacara.
Pengacara tua masih tetap heran mengapa pencara muda
menerima tawaran itu, ia bertanya lagi apakah pengacara muda diancam oleh
penjahat itu. Pengacara muda menjawab tidak. Dan pada akhirnya ia mengerti.
Pengacara tua memberitahu pengacara muda bahwa hal
tersebut akan berdampak buruk bagi dirinya sendiri, tetapi pengacara muda hanya
ingin bertindak profesional dan hanya ingin membela penjahat itu.
Pengacara tua yakin di saat pengadilan nanti pengacara
muda akan memenangkannya. Tetapi pengacara muda membantahnya karena ia belum
melakukan pengadilan tersebut.
Pada akhirnya pengacara tua merasa lelah dan rindu kepada
putranya sehingga ia mengatakan kepada pengacara mua itu agar segera pulang
menemui ayahnya. Walaupun pengacara muda menolak tetapi pengacara tua
memaksanya karena ia sangat rindu dengan putranya. Pengacara muda pun pergi
meninggalkan pengacara tua yang terlelap.
Hari pengadilan itu pun dimulai dan ternyata dugaan
pengacara tua itu benar. Penjahat besar itu memenangkan pengadilannya karena
pembelaan pengacara muda. Penjahat itu berpesat dan merasa merdeka Karen aia
terbebas dari tindakan hukum negara.
Rakyat pun membabi buta, mereka menyerang tempat
pengadilan itu dan membakarnya. Pengacara muda itu diculik dan dibawa pulang
setelah disiksa dan suah menjai mayat.
Pengacara tua duduk sedih saat mendengar berita yang
diabacakan oleh sekretarisnya itu. Ia sangat sedih karena pengacara muda yang
sebenarnya adalah putranya tiak menengar dan memahami bahwa ia sangat rindu
pada ayahnya dan tidak ingin menengar nasehat ayahnya saat ia mengambil
keputusan itu. Pengacara tua sangat sedih.
2.1.2 Alur
Alur yang diskemakan sebagai berikut. Pengacara muda
mendatangi ayahnya yang sebagai pengacara tua yang sangat profesional dan
terkenal untuk membicarakan keputusan yang diambil oleh pengacara muda dan ia
ingin berbicara dengan ayahnya sebagai seorang pengacara bukan sebagai ayahnya.
Saat ia memberitahu pengacara tua bahwa pengacara muda menerima tawaran untuk
membelanya pada saat pengadilan nanti, pengacara tua memahami keinginan
pengacara muda. Pengacara muda ingin bertindak sebagai pengacara yang
profesional.
Pengacara tua ingin tahu penyebab pengacara mua menerima
tawaran penjahat besar yang telah membuat kerugian besar di negaranya. Tetapi
pengacara muda tidak takut dan tidak disogok untuk menerima tawaran penjahat
itu. Pengacara tua pun hanya menanggapi keputusan pengacara mua itu dan pengacara
tua yakin bahwa pengacara mudda akan memenangkan pembelaannya pada saat
pengadilan nanti.
Pengacara tua pada akhrinya lelah an ingin bertemu dengan
akanya kerna ia rindu dengan putranya. Ia menyuruh pengacara muda itu untuk
pulang dan pengacara muda itu pun pulang.
Dan benar yang diyakini pengacara tua itu, pengacara mua
berhasil memerdekakan penjahat besar itu. Penjahat besar itu berpesta pora
hingga berlibur kemancanegara. Para rakyat sangat marah penjahat besar itu
telah dibebaskan oleh pengacara muda itu. Rakayat pun membabi buta dengan
membakar tempat pengailan dan menculik pengacara muda. Pengacara muda disiksa
an ipulangkan dalam keadaan suah menjadi mayat.
Pengacara tua sedih mendengar berita tersebut. Pengacara
mua itu seharusnya menengarkan perkataan pengacara tua bahwa ia rindu kepada
putranya yaitu pengacara muda itu. Ia ingin member nasehat kepada putranya
untuk menghadapi keputusannya untuk membela penjahat besar itu. Tetapi sudah
terlanjur.
Hubungan antara bagian-bagian alur itu adalah hubungan
sebab-akibat. Karena pengacara tua sudah berkata bahwa ia ingin menemui
anaknya, tetapi pengacar muda tidak memahami perkataan pengacara tua itu. Dan
dalam mengambil keputusan untuk membela penjahat besar, pengacara tua
sebenarnya kurang setuju karena akan menyebabkan dampak yang sangat buruk bagi
pengacara muda dan ternayata benar pengacara mua berhasil memenangkan penjahat
itu sata pengadilan dan pengacara itu disiksa sampai menjadi mayat karena telah
memerdekakan penjahat besar itu.
2.1.3 Pelaku
Dalam cerpen Perailan
Rakyat ini pelaku dituturkan sebagai orang ketiga dan si penutur aalah
pengarang cerpen tersebut. Pelaku alam cerpen tersebut hanya terdapat tiga
pelaku, yaitu:
1. Pengacara
muda, putra dari pengacara tua
2. Pengacara
tua, ayah dari pengacara muda
3. Sekretaris
pengacara tua
Pelaku utama dalah pengacara muda dan pengacara muda.
Sedangkan pelaku pembantu adalah sekretaris pengacara tua. Penokohan dilakukan
dengan cara:
1. Percakapan dialog
Gambaran pelaku tersirat dalam berdialog antar tokoh.
Dapat dijelaskan bahwa pengacara muda memiliki watak yang baik, teguh
pendirian, bijaksana, terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, dan
profesional. Sedangkan pengacara tua berwatak bijaksana, penyayang, baik, dan
profesional.
2.1.4 Latar
1. Kantor
Dalam cerpen tersebut tidak
menggambarkan keadaan kantor dengan jelas. hanya terlihat dari suasana yang ada
di latar tersebut. Karena alam cerpen tersebut menampakkan seorang sekretaris.
Sekretaris biasanya bekerja di sebuah kantor. Kantor tersebut adalah kantor
milik pengacara tua, yaitu ayah dari pengacara muda. Di kantor tersebutlah
terjadi pembicaraan mengenai keadilan antara pengacara tua dengan pengacara
muda.
2. Di
jalan
Dalam cerpen tersebut juga melatarkan jalanan-jalanan
tetapi tidak terlalu menunjukkan bahwa ada jalan. Di jalan tersebut
menceritakan adanya rakyat yang berdemo dan membabi buta akbiat kebebasan
penjahat yang telah dimeredekakan oleh pengacara muda.
Dalam cerpen tersebut tidak begitu jelas menjelaskan
waktu yang terjai. Hanya menjelaskan suasana yang terjadi, seperti saat
pengacara muda dan pengacara tua berialog terjadi suasana yang tegang. Saat
pengacara tua merindukan putranya menjelaskan suasana rindu. Saat telah diumumkan
bahwa penjahat itu memenangkan pengadilan tersebut dan rakyat marah menjelaskan
suasana yang tegah penuh engan kemarahan. Dan pada saat pengacara tua
mengetahui berita tersebut menjelaskan suasana kesedihan dan penyesalan.
2.1.5 Tema
Tema yang terdapat I cerpen tersebut adalah tema politik,
sosial dan moral. Karena dalam pembicaraan yang dilakukan oleh pengacara tua
dengan pengacara muda itu membicarakan mengenai pembelaan seorang penjahat yang
akan dilakukan oleh pengacara muda dalam persidangannya nanti. Hal tersebut
membuktikan bahwa cerpen tersebut tersemasuk bertema politik.
Sedangkan maksud dari tema sosial dan moral adalah cerpen
tersebut menceritakan apa yang seharusnya dibela oleh pengacara tersebut, sebab
keputusan yang diambil oleh pengacara muda salah, karena pengacara muda telah
berhasil memenangkan penjahat negara yang berdampat sangat buruk terhadap
rakyat di negaranya. Sehingga kemenangan tersebut membuat rakyat marah dan
meyiksa pengacara muda tersebut sampai mati.
2.1.6 Nilai
Berdasarkan cerita dalam cerpen tersebut terapat nilai
politik, nilai sosial, dan nilai moral. Nilai politik terdapat pada saat
pengacara muda dan pengacara tua membicarakan keadaan hukum di negara tersebut
dan mengenai pengadilab yang mengkaitkan penjahat besar negara. Nilai sosial
terdapat pada saat pengacara muda ingin berbicara kepada ayahnya sebagai
pengacara bukan seorang ayah. Sedangkan nilai moral terdapat pada sikap rakyat
yang marah karena [enjahat itu memenangkan sidang di pengadilan sehingga
membakar gedung pengadilan dan menyiksa pengacara muda hingga mati.
2.1.7 Sikap Pengarang
Dari pembicaraan mengenai
unsur-unsur yang terdapat pada cerpen Peradilan
Rakyat dapat terlihat bahwa sikap pengarang sangat mengerti mengenai
keadaan politik, sosial, dan moral yang ada di negara. Pengarang pun memberi
sebuah konflik yang memang benar-benar seharusnya terjadi jika keadilan di
negara tersebut disalah gunakan. Tetapi pengarang tidak terlalu menjelaskan
latar tempat yang diceritakan dalam cerpen tersebut.
2.1.8 Tipe Cerpen
Cerpen Peradilan
Rakyat apat dimasukkan ke dalam tipe cerpen politik sebab cerpen tersebut
lebih cenderung menceritakan pembicaraan politik antara pengacara tua dengan
pengacara muda, lalu cerpen tersebut menceritakan keadaan hukum yang sangat
buruk di negara tersebut karena adanya ketiakadilan dalam sebuah pengadilan
yang memenangkan pihak yang salah.