Kamis, 16 Oktober 2014

Analisi Cerpen Peradilan Rakyat Karya Putu Wijaya

2.1  Cerpen
Judul cerpen    : Peradilan Rakyat
Tahun terbit     : 2003

·      Biografi Pengarang
Pengarang       : Putu Wijaya
Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron. Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali. 
Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.

Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku," ujarnya mengenang. 
Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali pada drama," kenang Putu Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman. 
Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara
Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia. Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu. 
Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy. 
Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).Ia mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001).
Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand. 
Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya - penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat. 

Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.Ia menegaskan, ''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi. 
Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. ''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.'' 
"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan. Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.
Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun. 
Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."
Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan," ujar Putu.

2.1.1        Ikhtisar
Pada suatu hari ada seorang pengacara mua yang hendak mengunjungi ayahnya yang kini menjai seorang pengacara tua. Ia menemui ayahnya sebagai pengacara bukan sebagai putranya untuk menanyakan pendapat pengacara tua itu  mengenai keputusan yang diambil oleh pengacara muda.
Saat pengacara muda suah bertemu dengan ayahnya, ia segera memberitahu ayahnya bahwa ia ingin berbicara dengan ayahnya sebagai sepasang pengacara yang profesional. Ayahnya memaklumi dan menanggapi keinginan putranya itu.
Pengacara muda mengatakan ia telah didatangi oleh seorang penjahat besar di negaranya dan penjahat itu ingin ia menjadi pembelanya pada saat pengadilan nanti. Ia hanya ingin menjadi pengacara profesional, karena pengacara pun tetap harus membela yang salah walau sebenarnya hal itu akan merugikan dirinya sendiri.
Pengacara tua pun tahu bahwa pengacara muda itu akan menerima tawaran dari penjahat itu untuk membelanya, karena ia tahu betul sifat pengacara muda itu. Tetapi ia ingin tahu apakah sebab pengacara muda itu menerima tawaran sang penjahat. Pengacara tua pun bertanya kepada pengacara muda apakah ia menerima karena takut atau disogok engan jumlah uang yang besar. Tetapi jawaban pengacara muda tetap tidak dan ia hanya ingin bersikap profesional sebagai seorang pengacara.
Pengacara tua masih tetap heran mengapa pencara muda menerima tawaran itu, ia bertanya lagi apakah pengacara muda diancam oleh penjahat itu. Pengacara muda menjawab tidak. Dan pada akhirnya ia mengerti.
Pengacara tua memberitahu pengacara muda bahwa hal tersebut akan berdampak buruk bagi dirinya sendiri, tetapi pengacara muda hanya ingin bertindak profesional dan hanya ingin membela penjahat itu.
Pengacara tua yakin di saat pengadilan nanti pengacara muda akan memenangkannya. Tetapi pengacara muda membantahnya karena ia belum melakukan pengadilan tersebut.
Pada akhirnya pengacara tua merasa lelah dan rindu kepada putranya sehingga ia mengatakan kepada pengacara mua itu agar segera pulang menemui ayahnya. Walaupun pengacara muda menolak tetapi pengacara tua memaksanya karena ia sangat rindu dengan putranya. Pengacara muda pun pergi meninggalkan pengacara tua yang terlelap.
Hari pengadilan itu pun dimulai dan ternyata dugaan pengacara tua itu benar. Penjahat besar itu memenangkan pengadilannya karena pembelaan pengacara muda. Penjahat itu berpesat dan merasa merdeka Karen aia terbebas dari tindakan hukum negara.
Rakyat pun membabi buta, mereka menyerang tempat pengadilan itu dan membakarnya. Pengacara muda itu diculik dan dibawa pulang setelah disiksa dan suah menjai mayat.
Pengacara tua duduk sedih saat mendengar berita yang diabacakan oleh sekretarisnya itu. Ia sangat sedih karena pengacara muda yang sebenarnya adalah putranya tiak menengar dan memahami bahwa ia sangat rindu pada ayahnya dan tidak ingin menengar nasehat ayahnya saat ia mengambil keputusan itu. Pengacara tua sangat sedih.

2.1.2        Alur
Alur yang diskemakan sebagai berikut. Pengacara muda mendatangi ayahnya yang sebagai pengacara tua yang sangat profesional dan terkenal untuk membicarakan keputusan yang diambil oleh pengacara muda dan ia ingin berbicara dengan ayahnya sebagai seorang pengacara bukan sebagai ayahnya. Saat ia memberitahu pengacara tua bahwa pengacara muda menerima tawaran untuk membelanya pada saat pengadilan nanti, pengacara tua memahami keinginan pengacara muda. Pengacara muda ingin bertindak sebagai pengacara yang profesional.
Pengacara tua ingin tahu penyebab pengacara mua menerima tawaran penjahat besar yang telah membuat kerugian besar di negaranya. Tetapi pengacara muda tidak takut dan tidak disogok untuk menerima tawaran penjahat itu. Pengacara tua pun hanya menanggapi keputusan pengacara mua itu dan pengacara tua yakin bahwa pengacara mudda akan memenangkan pembelaannya pada saat pengadilan nanti.
Pengacara tua pada akhrinya lelah an ingin bertemu dengan akanya kerna ia rindu dengan putranya. Ia menyuruh pengacara muda itu untuk pulang dan pengacara muda itu pun pulang.
Dan benar yang diyakini pengacara tua itu, pengacara mua berhasil memerdekakan penjahat besar itu. Penjahat besar itu berpesta pora hingga berlibur kemancanegara. Para rakyat sangat marah penjahat besar itu telah dibebaskan oleh pengacara muda itu. Rakayat pun membabi buta dengan membakar tempat pengailan dan menculik pengacara muda. Pengacara muda disiksa an ipulangkan dalam keadaan suah menjadi mayat.
Pengacara tua sedih mendengar berita tersebut. Pengacara mua itu seharusnya menengarkan perkataan pengacara tua bahwa ia rindu kepada putranya yaitu pengacara muda itu. Ia ingin member nasehat kepada putranya untuk menghadapi keputusannya untuk membela penjahat besar itu. Tetapi sudah terlanjur.
Hubungan antara bagian-bagian alur itu adalah hubungan sebab-akibat. Karena pengacara tua sudah berkata bahwa ia ingin menemui anaknya, tetapi pengacar muda tidak memahami perkataan pengacara tua itu. Dan dalam mengambil keputusan untuk membela penjahat besar, pengacara tua sebenarnya kurang setuju karena akan menyebabkan dampak yang sangat buruk bagi pengacara muda dan ternayata benar pengacara mua berhasil memenangkan penjahat itu sata pengadilan dan pengacara itu disiksa sampai menjadi mayat karena telah memerdekakan penjahat besar itu.

2.1.3        Pelaku
Dalam cerpen Perailan Rakyat ini pelaku dituturkan sebagai orang ketiga dan si penutur aalah pengarang cerpen tersebut. Pelaku alam cerpen tersebut hanya terdapat tiga pelaku, yaitu:
1.      Pengacara muda, putra dari pengacara tua
2.      Pengacara tua, ayah dari pengacara muda
3.      Sekretaris pengacara tua
Pelaku utama dalah pengacara muda dan pengacara muda. Sedangkan pelaku pembantu adalah sekretaris pengacara tua. Penokohan dilakukan dengan cara:
1.      Percakapan dialog
Gambaran pelaku tersirat dalam berdialog antar tokoh. Dapat dijelaskan bahwa pengacara muda memiliki watak yang baik, teguh pendirian, bijaksana, terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, dan profesional. Sedangkan pengacara tua berwatak bijaksana, penyayang, baik, dan profesional.
2.1.4        Latar
1.      Kantor
Dalam cerpen tersebut tidak menggambarkan keadaan kantor dengan jelas. hanya terlihat dari suasana yang ada di latar tersebut. Karena alam cerpen tersebut menampakkan seorang sekretaris. Sekretaris biasanya bekerja di sebuah kantor. Kantor tersebut adalah kantor milik pengacara tua, yaitu ayah dari pengacara muda. Di kantor tersebutlah terjadi pembicaraan mengenai keadilan antara pengacara tua dengan pengacara muda.

2.      Di jalan
Dalam cerpen tersebut juga melatarkan jalanan-jalanan tetapi tidak terlalu menunjukkan bahwa ada jalan. Di jalan tersebut menceritakan adanya rakyat yang berdemo dan membabi buta akbiat kebebasan penjahat yang telah dimeredekakan oleh pengacara muda.
Dalam cerpen tersebut tidak begitu jelas menjelaskan waktu yang terjai. Hanya menjelaskan suasana yang terjadi, seperti saat pengacara muda dan pengacara tua berialog terjadi suasana yang tegang. Saat pengacara tua merindukan putranya menjelaskan suasana rindu. Saat telah diumumkan bahwa penjahat itu memenangkan pengadilan tersebut dan rakyat marah menjelaskan suasana yang tegah penuh engan kemarahan. Dan pada saat pengacara tua mengetahui berita tersebut menjelaskan suasana kesedihan dan penyesalan.
2.1.5        Tema
Tema yang terdapat I cerpen tersebut adalah tema politik, sosial dan moral. Karena dalam pembicaraan yang dilakukan oleh pengacara tua dengan pengacara muda itu membicarakan mengenai pembelaan seorang penjahat yang akan dilakukan oleh pengacara muda dalam persidangannya nanti. Hal tersebut membuktikan bahwa cerpen tersebut tersemasuk bertema politik.
Sedangkan maksud dari tema sosial dan moral adalah cerpen tersebut menceritakan apa yang seharusnya dibela oleh pengacara tersebut, sebab keputusan yang diambil oleh pengacara muda salah, karena pengacara muda telah berhasil memenangkan penjahat negara yang berdampat sangat buruk terhadap rakyat di negaranya. Sehingga kemenangan tersebut membuat rakyat marah dan meyiksa pengacara muda tersebut sampai mati.
2.1.6        Nilai
Berdasarkan cerita dalam cerpen tersebut terapat nilai politik, nilai sosial, dan nilai moral. Nilai politik terdapat pada saat pengacara muda dan pengacara tua membicarakan keadaan hukum di negara tersebut dan mengenai pengadilab yang mengkaitkan penjahat besar negara. Nilai sosial terdapat pada saat pengacara muda ingin berbicara kepada ayahnya sebagai pengacara bukan seorang ayah. Sedangkan nilai moral terdapat pada sikap rakyat yang marah karena [enjahat itu memenangkan sidang di pengadilan sehingga membakar gedung pengadilan dan menyiksa pengacara muda hingga mati.

2.1.7        Sikap Pengarang
Dari pembicaraan mengenai unsur-unsur yang terdapat pada cerpen Peradilan Rakyat dapat terlihat bahwa sikap pengarang sangat mengerti mengenai keadaan politik, sosial, dan moral yang ada di negara. Pengarang pun memberi sebuah konflik yang memang benar-benar seharusnya terjadi jika keadilan di negara tersebut disalah gunakan. Tetapi pengarang tidak terlalu menjelaskan latar tempat yang diceritakan dalam cerpen tersebut.

2.1.8        Tipe Cerpen
                        Cerpen Peradilan Rakyat apat dimasukkan ke dalam tipe cerpen politik sebab cerpen tersebut lebih cenderung menceritakan pembicaraan politik antara pengacara tua dengan pengacara muda, lalu cerpen tersebut menceritakan keadaan hukum yang sangat buruk di negara tersebut karena adanya ketiakadilan dalam sebuah pengadilan yang memenangkan pihak yang salah.